Pages

Friday, August 31, 2012

DIMENSI MORAL DALAM KEGIATAN KEILMUAN


Riska Sutriyati dan Riskiana
Universitas Sebelas Maret Surakarta 2011

Abstract
The development of science and technology has given great impact on human life. It is true that the development of science and technology has resulted in the rapid progress in agriculture, medicine and health care, telecommunication, transportation, and others; however, it also has given negative effects like pollution, global warming, and even the destruction of the whole population just in one night by the nuclear bomb. These problems can only be simply and directly solved through moral awareness. This paper will attempt to see the scientific activity from the moral point of view. There are four major items discussed in this paper: (1) the definition of value, (2) the kinds of value, (3) the relationship between science and religion, and (4) the principles of science utilization. Those items presented in this paper will hopefully end up with the moral awareness in the scientific activity.


A.      Pendahuluan
Merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia telah berkembang sedemikian pesat berkat kemajuan dalam bidang ilmu dan teknologi. Produk-produk ilmiah seperti telepon seluler, pesawat terbang, alat-alat kedokteran yang canggih dan lain-lain dapat memenuhi kebutuhan manusia dengan lebih mudah dan lebih cepat. Dalam hal ini kemajuan ilmu pengetahuan telah dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia. Namun demikian, tidak semua kemajuan dalam bidang keilmuan tersebut selalu diikuti oleh hal-hal yang positif. Kehancuran kota Nagasaki dan Hirosima di Jepang dapat dijadikan contoh bahwa penemuan nuklir dapat menimbulkan dampak negatif. Bahkan Teori kloning mulai mengarah pada dehumanisasi.
Dihadapkan dengan masalah moral sebagai dampak dari kemajuan ilmu ini, Jujun S. Sumantri (1999: 235) membagi ilmuwan dalam dua golongan. Golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai (ilmu yang bebas nilai). Dalam hal ini tugas ilmuan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya: apakah pengetahuan itu akan dipergunakan untuk tujuan yang baik atau yang buruk. Sebaliknya, golongan kedua berpendapat bahwa pengembangan ilmu tidak seratus persen bebas nilai tetapi harus berlandaskan pada asas-asas moral dalam penggunaannya dan bahkan dalam pemilihan obyek penelitiannya. Golongan kedua ini mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yaitu (1) ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia, (2) ilmu telah berkembang sedemikian pesat dan para ilmuwan lebih mengetahui dampak negatif yang akan terjadi bila ada penyalahgunaan, (3) perkembangan ilmu yang pesat tersebut dapat merendahkan martabat manusia karena menjadikan manusia itu sendiri sebagai obyek penelitian.
Beberapa pendapat memang mengatakan bahwa ilmu bebas nilai atau tidak terpengaruh oleh nilai-nilai termasuk moral. Kegiatan keilmuan bisa dikatakan bebas nilai atau tidak bebas nilai tergantung pada cara pandang kita terhadap kegiatan keilmuan itu sendiri. Smith (2001: 550) menuliskan pendapat Ernan Mc Mullin yang mengatakan bahwa ilmu merupakan fakta-fakta yang obyektif, sedangkan nilai merupakan perasaan individual yang subyektif. Ilmu dan nilai dalam hal ini harus dipisahkan. Sebaliknya, Psillos and Curd (2008: 302) menuliskan pendapat Gerald Doppelt yang mengatakan bahwa nilai-nilai sosial mempengaruhi kegiatan keilmuan dalam banyak hal. Nilai-nilai sosial menentukan arah penemuan-penemuan ilmiah, motif ilmuwan dalam melakukan kegiatan keilmuan, apa yang dicari dalam kegiatan keilmuan serta untuk apa kegiatan keilmuan tersebut.
Dari uraian di atas sebenarnya dapat diketahui bahwa hal-hal yang mengawali proses kegiatan keilmuan dan hal-hal yang menjadi dampak dari kegiatan keilmuan merupakan area di luar proses kegiatan keilmuan. Area inilah yang tidak bebas nilai. Nilai-nilai manusia sebagai individu termasuk nilai moral ilmuwan yang mengembangkan ilmu tersebut harus dipertimbangkan di area ini. Sedangkan proses kegiatan keilmuan itu sendiri bebas nilai. Ilmu tidak berpihak pada kepentingan-kepentingan suatu golongan. Ilmu bebas nilai.
Pembicaraan mengenai “apakah ilmu bebas nilai atau tidak” merupakan bahasan pada dimensi aksiologis dalam filsafat ilmu. Istilah aksiologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri atas kata axios yang artinya nilai dan logos yang artinya ilmu. Jadi aksiologi adalah studi tentang nilai. Sebagai landasan ilmu, aksiologi mempertanyakan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan. Pada dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan kelestarian atau keseimbangan alam.

B.       Pengertian Nilai (Values)
Ada tiga pendekatan dalam aksiologi seperti yang diutarakan oleh Louis Kattsoff (1996: 331) dalam menjawab pertanyaan mengenai hakikat nilai. Pertama, nilai sepenuhnya berhakekat subyektif. Ditinjau dari sudut pandang ini, nilai-nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung pada pengalaman-pengalaman mereka. Yang demikian ini dinamakan “subyektifitas”. Kedua, nilai-nilai merupakan kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai tersebut merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui melalui akal. Pendirian ini dinamakan “obyektivisme logis”. Ketiga, nilai-nilai merupakan unsur-unsur obyektif yang menyusun kenyataan. Yang demikian ini disebut “obyektivisme metafisik”.
Louis O. Kattsoff (1996: 332) memberikan sejumlah makna “nilai” yaitu:
(1)     Mengandung nilai artinya berguna.
(2)     Merupakan nilai artinya baik, benar, atau indah.
(3)     Mempunyai nilai artinya mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan orang mengambil sikap menyetujui; mempunyai sifat nilai tertentu.
(4)     Memberi nilai artinya menanggapi sesuatu sesuai dengan hal yang menggambarkan nilai tertentu.
Dalam pengertian ini, sesuatu dapat mempunyai nilai dan dapat dinilai. Misalnya suatu pernyataan mempunyai nilai kebenaran; oleh karena itu orang dapat mengambil sikap untuk memberitahukan pernyataan tersebut kepada orang lain. Ilmuwan membenarkan atau memberi nilai benar terhadap suatu pernyataan.
Ernan McMullin dalam Smith (2001: 550) mengatakan bahwa value berasal dari kata “valoir” yang berarti nilai atau harga. Menilai sesuatu adalah menganggap sesuatu itu berharga dan berkualitas sesuai dengan penilaiannya. Nilai melekat pada sesuatu yang ada. Nilai itu sendiri bersifat tetap. Nilai “cantik” tidak akan pernah berubah; yang berubah adalah pandangan atau persepsi atau penilaian manusia terhadap sesuatu.
Risieri Frondizi (2001: 7) mengatakan bahwa nilai tidak ada untuk dirinya sendiri. Nilai membutuhkan pengemban nilai. Oleh karena itu, nilai merupakan kualitas dari pengemban nilai. Risieri Frondizi mengklasifikasikan kualitas nilai sesuatu menjadi tiga, yaitu:
(1)     kualitas primer, kualitas dasar yang tanpa itu sesuatu tidak dapat menjadi ada. Misalnya manusia memiliki akal dan rasa.
(2)     Kualitas sekunder, kualitas yang dapat ditangkap oleh panca indera. Misalnya manusia memiliki bentuk dan warna.
(3)     Kualitas tersier, kualitas yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera. Misalnya manusia memiliki kejujuran dan keberanian.
Frondizi menyebut ketiga kualitas ini sebagai kualitas Gestalt dan kualitas inilah yang menjadi ciri khas dari suatu obyek termasuk manusia.
Nilai merupakan fenomena psikis manusia yang menganggap sesuatu hal bermanfaat dan berharga dalam kehidupannya, sehingga seseorang dengan sukarela terlibat fisik dan mental ke dalam fenomena tersebut. Demikian pengertian nilai yang diungkapkan oleh Prof. Herman J Waluyo (2003: 78).
Saebani (2009: 191) mengatakan bahwa makna nilai secara aksiologis meliputi lima hal, yaitu: (1) nilai sebagai panduan hidup manusia, (2) nilai sebagai tujuan hidup manusia, (3) nilai sebagai pilihan normatif tindakan manusia, (4) nilai sebagai hakikat semua pengetahuan, dan (5) nilai sebagai kesadaran tertinggi dari seluruh kesadaran manusia tentang motif-motif dan bentuk sebuah tindakan yang berakar pada nalar dan tolok ukur yang menjadi jaminan tercapainya tujuan perilaku.
Dari beberapa pengertian nilai tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai yang dibahas dalam hubungannya dengan “Dimensi Moral dalam Kegiatan Keilmuan”,  adalah nilai-nilai yang merupakan hasil penilaian manusia sebagai makhluk yang mempunyai kualitas tertentu dalam menentukan hidupnya terhadap ilmu pengetahuan sebagai obyek pengemban nilai. Dalam hal ini, ilmu pengetahuan dapat bernilai baik dan bermanfaat untuk kemaslahatan hidup manusia atau sebaliknya tergantung pada manusia itu sendiri sebagai pemberi nilai. Yang demikian ini akan menjadi sangat variatif karena penilaian manusia terhadap ilmu pengetahuan akan berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang manusia itu sendiri dalam memberi nilai. Sudut pandang yang berbeda itu tercermin dalam macam-macam nilai.
C.      Macam-macam Nilai (Values)
Gerald Doppelt dalam Psillos dan Curd (2008: 302) membagi nilai dalam ilmu pengetahuan menjadi dua yaitu, nilai sosial dan nilai epistemik. Nilai sosial mengacu pada hal-hal yang ada di dalam kehidupan masyarakat yang mempengaruhi kegiatan keilmuan seperti kesehatan masyarakat, ketahanan nasional dan lain-lain. Sedangkan nilai epistemik mengacu pada nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu pengetahuan. Nilai-nilai epistemik menurut Doppelt dalam Psillos dan Curd (2008: 304) adalah:
(1)   Value-laden phenomena
merupakan problem atau fenomena yang ada yang akan dijadikan sebuah ilmu pengetahuan.
(2)   Value-laden inferences
merupakan inferensi atau kesimpulan-kesimpulan yang dapat ditarik menjadi sebuah teori berdasarkan fenomena yang diobservasi.
(3)   Value-laden theoretical virtues
merupakan pemahaman yang menyeluruh dari suatu teori sebagai hasil dari penarikan beberapa kesimpulan.
(4)   Value-laden standards of empirical accuracy  
merupakan standarisasi dari data-data empiris yang akurat untuk mendukung ilmu pengetahuan tersebut.
Ernan Mcmullin dalam Smith (2001: 557) menggunakan istilah nilai epistemik dan non-epistemik dalam membagi nilai-nilai yang ada dalam ilmu pengetahuan. Nilai non-epistemik yaitu nilai personal, nilai sosial, nilai politik, dan nilai ekonomi yang mempengaruhi kegiatan keilmuan. Sedangkan nilai epistemik merupakan nilai-nilai tipikal dari kegiatan ilmiah. McMullin dalam Smith (2001: 554) menyatakan bahwa nilai-nilai tipikal dari kegiatan ilmiah tersebut adalah:
(1)   Universalism: ilmu pengetahuan yang diperoleh harus bersifat universal.
(2)   Communalism: penelitian dilakukan dalam sebuah komunitas sehingga dapat mengkroscek hasil-hasil penemuan.
(3)   Disinterestedness: kebenaran harus ditempatkan di atas kepentingan individu.
(4)   Organized skepticism: pembahasan secara terorganisir terhadap setiap argumen-argumen yang ada.
(5)   Purity: keteguhan terhadap otonomi penuh sebuah ilmu pengetahuan dari hal-hal eksternal seperti politik dan ekonomi.
Muhadjir (1998: 56) menuliskan bahwa Max Scheler mengelompokkan empat jenis nilai (values) yaitu:
(1)   nilai sensual dalam arti menyenangkan atau tidak menyenangkan
(2)   nilai hidup dalam arti agung atau biasa
(3)   nilai kejiwaan dalam arti estetik, benar-salah
(4)   nilai religius dalam arti suci atau sakral
Suriasumantri (1999: 263) mengutip pernyataan Aliport, Vernon dan Lindzey dalam bukunya studies of value (Boston: Mifflin:1951:339) bahwa ada enam nilai dasar, yaitu:
(1)   nilai teori: hakikat penemuan kebenaran lewat  berbagai metode seperti rasionalisme, empirisme dan metode ilmiah.
(2)   nilai ekonomi: kegunaan dari berbagai benda dalam memenuhi kebutuhan manusia
(3)   nilai estetika: keindahan dan segi-segi artistik yang menyangkut antara lain bentuk, harmoni dan wujud kesenian lainnya yang memberikan kenikmatan kepada manusia.
(4)   nilai sosial: hubungan antar manusia dan penekanan segi-segi kemanusiaan yang luhur.
(5)   nilai politik: nilai yang berpusat kepada kekuasaan dan pengaruh baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun dunia politik.
(6)   nilai agama: penghayatan yang bersifat mistik dan transedental dalam usaha manusia untuk mengerti dan memberi arti bagi kehadirannya di muka bumi.  
Beragam macam-macam nilai yang diuraikan di atas menunjukkan bahwa penilaian individu terhadap sesuatu tidaklah sama. Namun demikian, secara garis besar dapat ditarik kesimpulan bahwa ada dua klasifikasi nilai, yaitu nilai-nilai yang berhubungan dengan proses pemerolehan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang berhubungan dengan  appresiasi terhadap ilmu pengetahuan yang sudah diperoleh. Nilai-nilai seperti nilai teori dan nilai epistemik merupakan kelompok nilai yang berhubungan dengan proses pemerolehan ilmu pengetahuan. Sementara itu, nilai ekonomi, nilai politik, nilai agama, nilai sosial dan lain-lain termasuk dalam kelompok nilai yang berhubungan dengan appresiasi terhadap ilmu pengetahuan yang sudah diperoleh.
 Bagaimana proses pemerolehan ilmu pengetahuan dan penggunaan ilmu pengetahuan yang diperoleh dapat membawa kehidupan manusia ke arah yang lebih baik tergantung pada nilai-nilai yang menjadi acuan dalam menentukan sikap. Apakah keberhasilan ilmuwan dalam membuat proses duplikasi genetik dan reaktor nuklir merupakan tendensi baik atau buruk bagi kehidupan manusia? Jawabannya tergantung pada nilai-nilai tersebut dia atas. Apabila pembuatan nuklir hanya dititik-beratkan pada nilai politik, tentu setiap negara akan berlomba-lomba untuk membuat bom nuklir sebagai alat pertahanan. Demikian juga dengan proses duplikasi genetik, apabila titik beratnya hanya pada nilai ekonomi, yaitu menciptakan manusia-manusia yang ber-IQ tinggi sehingga mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, tentu akan segera dibangun pabrik-pabrik manusia yang akan memproduksi manusia-manusia sesuai dengan tipe yang diinginkan.

D.      Hubungan antara Ilmu dan Agama
Terlepas dari nilai-nilai yang mana yang hendaknya dijadikan acuan dalam kegiatan keilmuan, proses pengembangan ilmu akan terus dan terus berlangsung tiada henti. Hal ini disebabkan oleh akal manusia yang sifatnya selalu bertanya dan ingin menemukan jawaban atas suatu fenomena. Padahal, setiap kali suatu masalah telah ditemukan jawabannya, maka dari jawaban tersebut akan muncul lagi beberapa pertanyaan yang menggugah manusia untuk mencari jawabannya dan seterusnya proses tersebut akan berulang.
Penemuan-penemuan baru di bidang ilmu pengetahuan menunjukkan betapa telah majunya dunia ini dan betapa segala sesuatu bisa dijelaskan melalui proses ilmiah. Pemahaman yang demikian ini nampaknya membuat banyak orang berfikir bahwa agama yang sifatnya dogmatis sudah tidak lagi pas untuk dijadikan pedoman hidup. Apakah pemahaman yang demikian ini memang benar adanya? Marilah kita merujuk kembali pada paragraf sebelumnya bahwa setiap ada jawaban pasti ada pertanyaan-pertanyaan baru dan seterusnya akan berulang. Seorang ilmuwan dengan akalnya tentu akan berfikir bahwa jawaban-jawaban yang telah diperolehnya melalui proses ilmiah memberi petunjuk bahwa betapa bumi dan alam semesta ini telah tersusun dengan demikian rapi dan sempurna dan bahwa kesempurnaan alam ini tentu ada yang menciptakan dan mengaturnya. Agama telah mengajarkan bahwa kekuasaan dan kesempurnaan Tuhan tiada batas, sedangkan ilmu pengetahuan manusia terbatas.
Dari uraian di atas, kita tidak bisa menyimpulkan bahwa ilmu bertentangan dengan agama dan bahwa hendaknya kita percaya saja hal-hal dogmatis dalam agama dan tidak perlu mempertanyakan esensinya. Istilah yang pas untuk menggambarkan hubungan antara ilmu dan agama yaitu, “agama tanpa ilmu akan lumpuh dan ilmu tanpa agama akan buta”. Ilmu dan agama harus berjalan beriringan. Ilmu pengetahuan melalui proses ilmiahnya akan menemukan jawaban-jawaban yang membuat kita semakin meyakini kebesaran Tuhan.
Dalam agama Islam, sebenarnya tidak ada persoalan antara ilmu dan agama. Agama merupakan kepercayaan seseorang tentang adanya Tuhan pencipta alam semesta (works of Allah) yang dapat membawa kebahagiaan dan keselamatan bagi manusia apabila manusia mematuhi sabda Tuhan (words of Allah) yang tertuang dalam kitab suci. Agama Islam melalui kitab Al-qur’an telah memerintahkan umatnya untuk belajar dan mempelajari isi alam untuk kebaikan manusia itu sendiri. Ilmu baik ilmu-ilmu umum maupun ilmu-ilmu agama merupakan bentuk upaya manusia dalam mempelajari works of Allah sehingga lebih yakin terhadap words of Allah.
Hubungan antara ilmu dan agama sudah muncul sejak ada perbedaan pendapat ilmuwan Copernicus “heliosentris” dan pendapat agamawan “geosentris”. Ian Barbour, seperti dikutip oleh Kuswanjono (http:// abdullahmbrk9.blogspot.com/2011/10/integrasi-ilmu-dan-agama-perspektif.html) menyatakan bahwa ada empat tipe hubungan antara ilmu dan agama, yaitu: konflik, independensi, dialog, dan integrasi.
(1)     Konflik
Hubungan ilmu dan agama saling bertentangan dalam melihat suatu persoalan. Masing-masing mempunyai argumen sendiri atas kebenaran yang disampaikannya. Dalam hal ini, seseorang harus memilih kebenaran agama atau kebenaran ilmu. Teori heliosentris dan geosentris merupakan salah satu contoh dari tipe hubungan ini.
(2)     Independensi
Hubungan ilmu dan agama tidak saling bertentangan. Kebenaran ilmu dan kebenaran agama tidak saling mencampuri satu dengan yang lain karena masing-masing mempunyai pemahaman dan ruang lingkup penyelidikan yang berbeda. Ketegangan antara Galileo Galile dengan gereja semestinya tidak perlu terjadi jika agama tidak masuk kewilayah privasi ilmu, demikian pula ilmu tidak memaksakan diri dengan rasional-empirisme pada agama.
(3)     Dialog
Hubungan ilmu dan agama tidak dipandang sebagai dua hal yang benar-benar terpisah hanya karena peerbedaan-perbedaan di antara keduanya. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa ada hubungan mutualis antara ilmu dan agama. Zainal Abidin Bagir, dkk (2005: 45-46) mengemukakan bahwa ilmu mampu membantu agama merevitalisasi diri dengan beberapa cara:
a.       Dengan belajar dari ilmu, agama dapat membangun kesadaran kritis dan sikap yang lebih terbuka sehingga tidak terlalu sensitive terhadap hal-hal yang baru.
b.      Kemampuan logis dan kehati-hatian mengambil kesimpulan dalam dunia ilmiah  dapat diterapkan dalam menafsirkan ajaran-ajaran agama.
c.       Lewat temuan-temuan barunya, ilmu dapat merangsang agama untuk senantiasa tanggap memikirkan ulang keyakinan-keyakinannya sehingga menghindarkan agama itu sendiri dari bahaya stagnansi.
d.      temuan-temuan ilmu juga dapat memberi peluang-peluang baru bagi agama untuk makin mewujudkan idealisme-idealismenya secara konkret.
Sebaliknya, agama dapat membantu ilmu agar tetap manusiawi dengan beberapa cara:
a.       Agama dapat mengingatkan bahwa ilmu bukanlah satu-satunya jalan menuju kebenaran. Dalam diri manusia, terdapat relitas pengalaman batin yang membentuk nilai. Hal itu merupakan wilayah yang tidak banyak disentuh oleh ilmu.
b.      Agama dapat juga mengingatkan ilmu dan teknologi untuk senantiasa menempatkan nilai kehidupan dan kemanusiaan di atas kemajuan pengetahuan itu sendiri.
c.       Agama dapat membantu ilmu di wilayah yang kadang merupakan ujung tak terelakkan dari suatu pencarian ilmiah, yaitu wilayah supranatural.
d.      Agama dapat menjaga sikap mental manusia agar tidak menganggap bahwa sesuatu akan bernilai hanya ketika manfaatnya jelas sebagai alat untuk kepentingan kita.
Hubungan dialogis berusaha mempertemukan ilmu dan agama. Dialog dapat terjadi manakala ilmu dan agama menyentuh persoalan diluar wilayahnya sendiri.
(4)     Integrasi
Ada dua makna dalam tipe ini:
(1)  reintegrasi, yaitu menyatukan kembali ilmu dan agama setelah keduanya terpisah.
(2)  unity, yaitu kebenaran ilmu dan kebenaran agama diyakini merupakan satu kesatuan.
Proses pengkajian “reintegrasi” dimulai dari alam menuju kalam Ilahi, sedangkan proses pengkajian “unity” dimulai dari kalam Ilahi menuju alam. Kebenaran keduanya saling mendukung dan tidak saling bertentangan.
Dari empat tipe hubungan ilmu dan agama tersebut, “integrasi” merupakan tipe hubungan yang ideal. Kuswanjono (http://abdullahmbrk9. blogspot. com /2011/10/ integrasi-ilmu-dan-agama-perspektif.html) menyatakan bahwa integrasi ilmu dan agama dapat dipahami dalam tiga pendekatan:
a.  Secara ontologis, hubungan ilmu dan agama saling bergantung satu sama lain. Tidak ada ilmu tanpa agama dan tidak ada agama tanpa ilmu. Works of Allah dan Words of Allah, yang merupakan obyek kajian dari ilmu dan agama, berasal dari Tuhan; oleh karena itu, hasil kajian ilmu dan agama saling melengkapi. Konflik antara ilmu dan agama sebenarnya tidak ada; yang ada hanyalah konflik pemahaman ilmuwan dan agamawan.
b.  Secara epistemologis, seluruh metode yang diterapkan dalam ilmu dan agama saling melengkapi satu sama lain. Dalam pencarian Kebenaran, ilmu tidak hanya mendasarkan pada kebenaran empiris saja, namun juga mendasarkan pada sumber kebenaran dari wahyu. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir dampak dari keterbatasan pemahaman ilmuwan dan agamawan sehingga tercapai pemahaman yang lebih baik terhadap suatu Kebenaran.
c. Secara aksiologi, seluruh nilai (kebenaran, kebaikan, keindahan, dan keilahian) menjadi syarat bagi sebuah penilaian terhadap sesuatu (pengemban nilai). Penilaian ilmu tidak hanya benar-salah (nilai kebenaran) saja, namun juga termasuk di dalamnya baik-buruk (nilai kebaikan), indah-jelek (nilai keindahan) dan halal-haram (nilai keilahian). Hal ini akan mengarahkan perkembangan ilmu menjadi ilmu yang bermoral.
Penjelasan mengenai hubungan antara ilmu dan agama tersebut telah memperjelas pengetahuan kita akan keterbatasan manusia baik sebagai ilmuwan maupun agamawan dalam memahami dan menemukan ilmu baik ilmu agama maupun ilmu alam. Sementara itu, kesempurnaan Tuhan semakin jelas terlihat dari ciptaanNya yang sempurna. Tuhan telah menuntaskan secara detail hasil ciptaanNya sehingga tidak ada dampak negatif  dari hasil ciptaanNya. Selama manusia, dengan segala keterbatasan pemahamannya, mencoba untuk mencari tahu, maka akan diketahui bahwa semua ciptaan Tuhan tidak ada yang tidak bermanfaat.

E.       Prinsip-prinsip Pemanfaatan Ilmu
Berbeda dengan ciptaan Tuhan yang demikian sempurna, ciptaan manusia sering membawa dampak negatif. Penemuan tv, komputer, dan laptop membawa kebaikan bagi manusia, namun berdampak negatif pada kesehatan mata apabila tidak dibatasi dalam penggunaannya. Pendingin ruangan AC dan gedung-gedung kaca mempercepat terjadinya pemanasan global. Demikian juga dengan alat transportasi berupa kendaraan bermotor yang mengeluarkan asap yang tidak baik untuk pernafasan manusia. Terlebih, penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang industri yang menghasilkan limbah yang tidak dapat di daur ulang.
Teknologi hasil ciptaan manusia yang disebutkan di atas merupakan teknologi yang ada di lingkungan keseharian kita. Hal ini menunjukkan bahwa dampak negatif dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah sedikit demi sedikit tetapi nyata dan berkelanjutan mengancam kesehatan dan kelestarian lingkungan alam tempat manusia tinggal. Oleh karena itu, kenyataan ini seharusnya menantang manusia untuk menggunakan semaksimal mungkin daya akal budinya untuk menyelamatkan kehidupan manusia serta alam semesta.
Manusia sebagai makhluk yang manusiawi harus mampu menentukan kemajuan ilmu dan teknologi yang mana yang bermanfaat baik bagi manusia sehingga tidak terjerumus ke dalam sisi negatif yang selalu disisakan dari kemajuan ilmu dan teknologi. Achmad Charris Zubair (2002: 139-140) menuliskan bahwa kemanfaatan ilmu pengetahuan dapat dilihat dari empat hal:
(1)   Bermanfaat bagi orang yang bergulat dalam ilmu pengetahuan yang bersangkutan.
Individu yang mengembangkan suatu ilmu pengetahuan sekaligus  merupakan  pengguna atau individu yang mendapatkan manfaat dari hasil pengembangan keilmuannya. Manfaat tersebut bisa bertambahnya pengetahuan dan pemahaman akan sesuatu hal yang dikembangkannya.
(2)   Bermanfaat bagi ilmu pengetahuan itu sendiri.
Ilmu pengetahuan diibaratkan sebagai mata-rantai di mana temuan baru selalu bermanfaat memberikan inspirasi bagi temuan-temuan selanjutnya. Tanpa adanya pola yang demikian ini, ilmu pengetahuan akan menjadi “mandeg” dan tidak bermanfaat.
(3)   Bermanfaat bagi skala “ruang” yang lebih luas.
Ilmu pengetahuan hendaknya bermanfaat tidak hanya untuk individu-individu yang hidup di tempat di mana ilmu tersebut dikembangkan tetapi juga bermanfaat untuk manusia secara keseluruhan.
(4)   Bermanfaat bagi skala “waktu” yang lebih panjang.
Ilmu pengetahuan hendaknya bermanfaat tidak hanya bagi manusia yang hidup di jaman sekarang tetapi juga bermanfaat untuk generasi-generasi yang akan datang.
Saebani (2009: 197) mengatakan bahwa ada tiga hal yang menjadi pertimbangan untuk menilai apakah sesuatu itu baik atau tidak baik dalam kehidupan manusia, yaitu: (1) Cara berfikir yang melandasi manusia dalam berperilaku, (2) Cara berbudaya yang menjadi sendi berlakunya norma sosial, (3) Cara merujuk kepada sumber-sumber nilai yang menjadi tujuan pokok dalam bertindak.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa keterbatasan kemampuan manusia dalam perolehan ilmu telah membawa dampak negatif bagi manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, kita harus mempunyai prinsip-prinsip dalam pemanfaatan ilmu sebagai filter dalam memanfaatkan ilmu-ilmu hasil karya manusia itu sehingga dapat meminimalisir dampak negatif yang selalu menyertainya. Setiap individu harus memperhatikan Prinsip-prinsip pemanfaatan ilmu sebagai berikut:
(1)   Ilmu yang akan diterapkan dalam kehidupannya haruslah bermanfaat baik bagi semua manusia secara luas, lingkungan alam, maupun hanya bagi individu itu sendiri.
(2)   Ilmu yang akan diterapkan dalam kehidupannya tidak merugikan semua manusia secara luas, lingkungan alam, maupun diri sendiri.
(3)   Penentuan tentang bermanfaat baik atau tidaknya suatu ilmu harus didasarkan pada hakekat manusia, norma-norma sosial budaya, dan agama.
Semua hasil penemuan manusia memang selalu membawa dampak positif dan negatif. Jadi, segala sesuatu yang merupakan hasil dari suatu kegiatan keilmuan harus benar-benar ditimbang terlebih dahulu dampak positif dan negatifnya, sehingga efek negatif dari pemanfaatannya dapat diminimalisir. Misalnya, penemuan di bidang kimia menghasilkan obat-obatan yang bermanfaat untuk menyembuhkan penyakit. Di sisi lain, penemuan obat-obatan tersebut menimbulkan fenomena “kecanduan narkoba”. Hal ini disebabkan oleh pemanfaatan yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip di atas. Narkoba jelas tidak bermanfaat dan merugikan diri pemakai narkoba maupuan masyarakat sosial. Narkoba jelas bertentangan dengan norma-norma budaya maupun agama.  
F.       Penutup
Dari pembahasan dimensi moral dalam kegiatan keilmuan, dapat disimpulkan bahwa manusia telah berusaha untuk meningkatkan kualitas hidupnya melalui kegiatan keilmuan. Ketidak-berpihakan kegiatan keilmuan pada nilai-nilai atau kepentingan-kepentingan tertentu harus diperjuangkan untuk kebaikan hidup manusia. Agama dapat dijadikan bahan rujukan untuk mengendalikan kegiatan keilmuan supaya tidak terjerumus pada hal-hal yang akan merugikan harkat dan martabat manusia itu sendiri. Banyak hasil-hasil kegiatan keilmuan   yang telah dimanfaatkan untuk kesejahteraan hidup manusia. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa keterbatasan ilmu manusia telah menyebabkan hasil-hasil temuan itu menyisakan dampak negatif yang harus secara terus menerus dilakukan pengkajian ulang untuk meminimalisisr efek negatif tersebut. Nilai-nilai moral yang ada dalam masyarakat termasuk nilai agama, sosial,  ekonomi dan lain-lain yang tercakup dalam prinsip-prinsip pemanfaatan ilmu hendaknya menjadi pegangan manusia dalam pemanfaatan hasil-hasil temuan ilmu.  Dengan demikian, hasil-hasil temuan ilmu dapat benar-benar dimanfaatkan sebagai sarana dan alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan tidak mengabaikan kodrat dan martabat manusia serta kelestarian dan keseimbangan alam.  

DAFTAR PUSTAKA
Bagir, Zainal Abidin dkk. 2005. Integrasi Ilmu dan Agama. Bandung: Mizan Pustaka.
Frondizi, Risieri. 2001. Pengantar Filsafat Nilai. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kattsoff, Louis O. 1996. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Kuswanjono, Arqom http://abdullahmbrk9. blogspot. com /2011/10/ integrasi-ilmu-dan-agama-perspektif.html
Muhadjir, Noeng. 1998. Filsafat Ilmu.Yogyakarta: Rake Sarasin.
Psillos, Stathis and Curd, Martin. 2008. The Routledge Companion to Philosophy of Science. New York: Routledge.
Saebani, Beni Ahmad. 2009. Filsafat Ilmu. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Smith, W.H. Newton. 2001. A Companion to the Philosophy of Science. United Kingdom: Blackwell Publisher Inc.
Suriasumantri, Jujun S. 1999. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Waluyo, Herman J. 2002. Pengantar Filsafat Ilmu. Salatiga: Widya Sari Press.
Zubair, Achmad Charris. 2002. Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia. Yogyakarta: LESFI

No comments:

Post a Comment